MAKAN SIANG
Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo memiliki gaya unik menyelesaikan persoalan komunikasi
dengan warganya. Makan siang pun bisa jadi cara. Menghadapi isu-isu sensitif
pun, tidak ada spanduk tuntutan dan pengeras suara dari warga, tidak ada pula
pentungan Satpol PP. Hanya denting sendok garpu yang berujung pada kata sepakat.
Kali pertama, Februari 2013, Jokowi mengajak warga korban banjir di Jakarta Utara makan siang setelah beberapa kali mengunjunginya. Tidak ada persoalan yang begitu penting diselesaikan dengan para korban banjir. Misi Jokowi, kala itu, bisa jadi adalah silaturahim dan mengurangi beban saja.
Dua bulan berselang, sekitar awal April, giliran warga yang bermukim di sekitar Waduk Pluit duduk satu meja makan dengan gubernurnya. Misi Jokowi sedikit lebih berat saat itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menggeser warga masuk ke rumah susun agar dapat menata waduk seluas 80 hektar itu.
Kali pertama, Februari 2013, Jokowi mengajak warga korban banjir di Jakarta Utara makan siang setelah beberapa kali mengunjunginya. Tidak ada persoalan yang begitu penting diselesaikan dengan para korban banjir. Misi Jokowi, kala itu, bisa jadi adalah silaturahim dan mengurangi beban saja.
Dua bulan berselang, sekitar awal April, giliran warga yang bermukim di sekitar Waduk Pluit duduk satu meja makan dengan gubernurnya. Misi Jokowi sedikit lebih berat saat itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menggeser warga masuk ke rumah susun agar dapat menata waduk seluas 80 hektar itu.
Dan makan
siang terberat adalah ketia Jokowi menjamu Pengusaha metromini, Pedagang Blog G
dan warga waduk Ria-rio. Tetapi toh makan siang itu menjadi komunikasi hati yang
jauh menjadi lebih efektif dibanding dengan pentungan satpol
pp.
Barangkali falsafah Jawa "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji" adalah "jurus" andalan Jokowi. Dalam bahasa Indonesia, saloka itu secara harfiah berarti "menyerbu tanpa pengerahan pasukan, menang tanpa mempermalukan, dan ampuh tanpa perlu ilmu kesaktian". Tafsir umumnya, hasil terbaik dapat dicapai tanpa perlu tindakan kekerasan, bersikap merendahkan atau mempermalukan, ataupun strategi yang bertele-tele.
Barangkali falsafah Jawa "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji" adalah "jurus" andalan Jokowi. Dalam bahasa Indonesia, saloka itu secara harfiah berarti "menyerbu tanpa pengerahan pasukan, menang tanpa mempermalukan, dan ampuh tanpa perlu ilmu kesaktian". Tafsir umumnya, hasil terbaik dapat dicapai tanpa perlu tindakan kekerasan, bersikap merendahkan atau mempermalukan, ataupun strategi yang bertele-tele.
Sahabat,
Komunikasi yang buruk bisa jadi menghasilkan hal-hal yang buruk. Sekalipun
mungkin dari luar nampak baik hasilnya ( baca: menurut) tetapi bisa jadi
merobek kedalam dan menimbulkan luka yang sewaktu-waktu akan menjadi masalah
baru.
Saya harus belajar banyak dari cara berkomunikasi pak Jokowi ini,
memanusiakan manusia.. bukan asal gusur dan asal sikat. Bukankah seringkali atas
dasar kekuasaan yg seseorang miliki lalu menjadi pribadi yang adigang adigung
adiguna? (baca : arogan).
Ada banyak persoalan yg muncul dari bawah, protes, demo, ketidak puasan
dll.. sangat mudah membungkam mereka dengan kekuatan yg para pemimpin miliki,
tapi ingat ! luka itu akan nampak pada saat anda dalam posisi sulit.. banyak
orang akan bersyukur bila anda jatuh, tidak ada yg mendukung dan menolong anda..
anda akan ditinggalkan sendirian..!
Sebaliknya bila anda bisa berkomunikasi dengan baik, suatu ketika ada orang
yg menjelekkan nama anda, maka secara spontan rakyat yang akan membela
anda..!!
Jadi.. bila bisa berkomunikasi dg lebih baik.. mengapa tidak ?
Filipus Gudel
Motivator

Tidak ada komentar:
Posting Komentar